KERAJAAN PUCANGAN
(BUWAHAN)
Arya Kenceng Pendiri Kerajaan Pucangan/Buwahan
Diceritakan setelah kemenangan Patih Gajah Mada atas kerajaan Bali Kuna pada
tahun 1343M, ditunjuklah Sri Kresna Kepakisan sebagai Gubernur Majapahit
di Bali. Beliau bergelar Dhalem Samparangan, membangun istananya di desa
Samprangan (desa Samplangan sekarang), sebelah Timur Tukad Cangkir.
Gianyar sekarang. Beliau didampingi oleh 11 Arya, masing – masing diberi
kedudukan sbb:
1. Arya
Kutawaringin di Gelgel
2. Arya kenceng di Buwahan / Pucangan
3. Arya Belog di Kaba-kaba
4. Arya Dalancang di Kapal
5. Arya Sentong di Carangsari
6. Arya Kanuruhan di Tangkas
7. Arya Punta di Mambal
8. Arya Jerudeh di Temukti
9. Arya
Tumenggung di Petemon
10. Arya Pemacekan di Bondalem
11. Arya
Beleteng di Pacung
Selain itu juga didampingi oleh 3 orang wesya
bersaudara: Tan Kober, Tan Kawur, dan Tan Mundur.
Arya Kenceng salah seorang Mentri Dalem, diberi kekuasaan di daerah
Tabanan, di desa Pucangan atau Buwahan, beristana di sebelah Selatan Bale
Agung. Adapun batas batas wilayah kekuasaan beliau: sebelah Timur Sungai
Panahan, sebelah Barat Sungai Sapuan, sebelah Utara gunung Beratan (Batukaru),
dan sebelah Selatan daerah-daerah Sandan, Kurambitan, Blungbang, Tanguntiti,
dan Bajra.
Sebagai seorang Menteri Arya Kenceng sangat taat dan rajin menghadap Dalem.
Dalem bersabda kepada Arya Kenceng, bahwa dari 3 tata upacara atiwa-tiwa,
yaitu Bandhusa, Nagabandha, dan Bade Tumpang Solas, yang
hanya boleh dipakai adalah Bade Tumpang Solas.
Arya Kenceng menikah dengan seorang puteri keturunan Brahmana dari Ketepeng
Reges, Wilatikta. Sang puteri bersaudara puteri 3 orang. Kakaknya dinikahi oleh
Sri Kresna Kepakisan, dan adiknya dinikahi oleh Arya Sentong. Dari isteri
Brahmin ini Arya Kenceng menurunkan putera: yang sulung bergelar Sri
Magadhaprabu atau Arya Pucangan I, adiknya bergelar Sri Magadhanata atau Arya
Pucangan II. Dari isteri lainnya, Arya Kenceng menurunkan putera: bernama Kyai
Tegeh Kori, dan adiknya wanita tidak disebutkan.
Diceritakan saat wafatnya Arya Kenceng, dilaksanakan upacara Pelebon,
sesuai anugrah Dalem menggunakan Bade Tumpang Solas, hal mana diwariskan
sampai sekarang.
Arya Pucangan II Raja II
Pucangan
Arya Pucangan I, Putera sulung Arya Keceng tidak tertarik memegang
pemerintahan. Maka kerajaan Pucangan (Buwahan) diperintah oleh adiknya Arya
Pucangan II bergelar Arya Ngurah Tabanan.
Adapun Kyai Tegeh Kori pindah ke Badung, di sebelah
selatan Setra Badung. Beliau memerintah wilayah Badung, membuat
bendungan di Pegat. Selanjutnya menurunkan warga besar yang disebut Para
Gusti Tegeh. Sedangkan yang paling bungsu seorang perempuan tetap tinggal
di istana Pucangan.
Arya Pucangan II berputera 7 orang, lahir dari 2 orang
ibu warga para Sanghyang. Yang sulung bernama Arya Ngurah Langwang, yang
kedua bernama Ki Gusti Made Kaler, Ki Gusti Nyoman Dawuh, dan Ki Gusti Ketut
Dangin Pangkung. Dari ibu yang kedua, lahir Ki Gusti Nengah Samping Boni, Ki
Gusti Nyoman Batan Ancak, dan Ki Gusti Ketut Lebah.
Arya Pucangan II meneruskan kewajiban ayahnya, sering
datang menghadap Dalem Ketut yang bergelar Sri Smara Kepakisan di
Suwecapura, Gelgel. Di istana Suwecapura, Arya Pucangan II sempat melakukan
kesalahan, menutupi rambut salah seorang putera Dalem, yang menyebabkan Dalem
marah dan memberikan ganjaran.
Dalem mengutus Arya Pucangan II ke Majapahit untuk
menyelidiki situasi di sana. Tidak diceritakan perjalannya, sampai di
Majapahit, dilihat sunyi, sepi negara itu, kelam kabut pikiran pejabat dan
rakyat, karena mengalami masa-masa peralihan Islamisasi. Arya Pucangan II
kembali pulang ke Bali, tidak diceritakan perjalannnya.
Sampai di Bali Arya Pucangan II menuju Suwecapura
melaporkan situasi di Majapahit. Setelah selesai menghadap dan pamit, beliau
mendengar adiknya perempuan bungsu yang diambil oleh Dalem, diberikan oleh
Dalem kepada Kyai Asak di Kapal, adik dari Kyai Petandakan, treh Nararya
Kepakisan. Arya Pucangan II setelah mengetahui adiknya diperlakukan demikian,
merasakan sakit hati, betapa beratnya hukuman yang diberikan oleh Dalem.
Arya Pucangan II akhirnya memutuskan meletakkan jabatan sebagai penguasa,
menyerahkan kekuasaan kepada putera sulungnya Arya Ngurah Langwang. Beliau
kemudian menuju ke hutan ke arah Barat Daya dari istana Pucangan, dan
beristirahat di desa Kubon Tingguh.
Desa Kubon Tingguh tempat beliau berduka cita. Di sini beliau didampingi,
menikah lagi dengan seorang puteri Bendesa Pucangan, melahirkan seorang putera
bernama Kyai Ketut Bendesa atau disebut juga Kyai Ketut Pucangan. Setelah Kyai
Ketut Bendesa dewasa, diajak ke istana Pucangan mendampingi kakaknya Arya
Ngurah Langwang. Arya Pucangan II wafat di Kubon Tingguh, kemudian dilaksanakan
upacara dengan semestinya.
Arya Ngurah Langwang Raja III
Pucangan
Arya Ngurah Langwang sebagai putera sulung menggantikan ayahnya, setelah
dinobatkan bergelar Arya Ngurah Tabanan, sama seperti gelar ayahnya. Beliau
didampingi oleh adiknya Kyai Ketut Bendesa.
Kyai Ketut Bendesa rupanya memiliki aura tubuh yang
lebih dari pada manusia biasa. Dari kejauhan tubuhnya sering memancarkan sinar,
setelah didekati ternyata tidak lain adalah Kyai Ketut Bendesa.
Suatu saat Kyai Ketut Bendesa diuji oleh kakaknya Kyai Ngurah Tabanan untuk
memangkas pohon Beringin yang tumbuh di depan istana (sabha). Pohon
Beringin ini tumbuh besar dan melebar, cabang-cabangnya dikuatirkan mengganggu
kenyamanan. Pohon ini dipandang angker, tidak ada yang berani memangkas. Kyai
Ketut Bendesa tidak membantah perintah kakaknya. Segera beliau naik, memotong
cabang-cabang Beringin dengan kapak di tangan. Semenjak itu Kyai Ketut Bendesa
atau Kyai Ketut Pucangan diberi gelar Arya Notor Wandira (Waringin).
Selanjunya Arya Notor Wandira pergi merantau ke negara
Badung berjumpa dengan pamannya Kyai Anglurah Tegeh Kori. Arya Notor Wandira
kemudian diangkat sebagai anak (kedharma putera) oleh Kyai Anglurah
Tegeh Kori, diberi nama Kyai Nyoman Tegeh. Pengangkatan anak ini
dilakukan oleh karena Kyai Tegeh Kori kecewa terhadap anak kandungnya Kyai Gede
Tegeh dan Kyai Made Tegeh, yang mempunyai prilaku tidak sesuai dengan putera
raja, hanya memenuhi indriya saja.
Diceritakan adik-adik Arya Ngurah Langwang dipisahkan tempat tinggalnya oleh
Dalem. Ki Gusti Made Kaler, Ki Gusti Nyoman Dawuh dan Ki Gusti Ketut Dangin
Pangkung diperintahkan pindah rumah ke Tabanan. Sedangkan 3 orang lagi Ki Gusti
Nengah Samping Boni, Ki Gusti Nyoman Batan Ancak, Ki Gusti Ketut Lebah, semua
disuruh pindah ke Nambangan. Semenjak itulah pusat pemerintahan dipindahkan ke
Tabanan.
Istana Tabanan dibangun mula-mula di sebelah Utara Pura
Puseh Tabanan, kemudian di sebelah Selatan Pura Puseh, dengan gapura
menghadap ke Timur, berpintu kembar diapit Candi Bentar berbentuk Supit
Urang. Istana dengan 4 halaman depan (wijil ping 4). Halaman pertama
bernama Tandakan, halaman ke dua Bale Kembar, ketiga Tandeg,
dan ke empat Ancaksaji. Istana raja bernama Puri Agung Tabanan.
Tempat untuk peraduan atau pesanggrahan Raja Sukasada (Gelgel) diberi nama Puri
Dalem.
Ibukota Tabanan dinamai Singhasana, dan baginda
Raja bergelar Prabu Singasana. Pada waktu itu juga, Raja Tabanan juga
memohon kepada Dalem seorang Bhagawanta, hingga ada keluarga Brahmana
Keniten dari Kamasan Gelgel, diberikan tempat di Pesamuan, hingga
saat ini berada di Pasekan.
Arya Ngurah Langwang setelah tua wafat, meninggalkan 4 orang putera: yang
sulung bernama Arya Ngurah Pemayun, dinobatkan bergelar Arya Ngurah Tabanan
atau Sang Nateng Singasana. Adik-adiknya Ki Gusti Lod Carik, Ki Gusti
Dangin Pasar, dan Ki Gusti Dangin Margi.
Arya Ngurah Pemayun Raja IV
Tabanan
Permaisuri beliau bernama Ki Gusti Ayu Pemedekan, puteri Kyai Ketut Bendesa
atau Kyai Nyoman Tegeh. Ini adalah isteri satu-satunya. Beliau tidak beristeri
lagi, karena beliau sangat mencintai. Menurunkan 2 orang putera: Ki Gusti
Wayahan Pamedekan dan adiknya Ki Gusti Made Pamedekan.
Beliu sempat dikirim oleh Dalem untuk menyerang Kebo Mundar dan laskarnya di
Sasak. Beliau berangkat bersama Kyai Telabah (yang berkedudukan di Kuta), Kyai
Pring Cagahan, dan Kyai Sukahet.
Dalam pertempuran itu Kyai Telabah melarikan diri.
Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan laskar Bali. Dalem kemudian memecat
Kyai Telabah, dan wilayah kekuasaannya, daerah Kuta diberikan kepada Kyai
Anglurah Tegeh Kori.
Diceritakan sang permaisuri Ni Gusti Ayu Pemedekan jatuh sakit dan wafat,
sehingga Raja diberi gelar Sang Prabhu Winalwuan. Beliau amat sedih atas
kejadian ini, hingga menderita penyakit berat, sejenis kusta. Kerajaan
diserahkan kepada kedua puteranya. Beliau pergi bertapa di lereng gunung
Batukaru bagian Selatan, sebelah Utara Wongaya, yang disebut Tegal Jero.
Dalam pertapaan, beliau mandapat petunjuk agar menuju ke kediaman Ida
Pedanda Ketut Jambe di desa Wanasari. Di sana beliau berdua bersahabat.
Persahabatan ini menimbulkan kecaman dari kakaknya yang bernama Ida Gede
Nyuling dari Gerya Burwan, karena bersahabat dengan orang leteh.
Mendengar kecaman itu, Sang Prabhu Winalwan bersumpah, bahwa beliau turun
tumurun tidak akan mohon tirta dan lepas berguru kepada Ida Gede
Nyuling.
Ternyata Sang Prabhu dapat sembuh. Beliau berganti kulit (makules),
sehingga diberi gelar Bhatara Makules. Semenjak itulah awalnya Ida
Pedanda Ketut Jambe menjadi Bhagawanta di Puri Agung Tabanan. Setelah
sembuh beliau menikah, tidak terbilang jumlah isterinya, menurunkan 11 putera
dan puteri.
I Gusti Wayahan Pamedekan Raja
V Tabanan
Kembali diceritakan, dahulu ketika Sang Prabhu Winalwan Raja IV menyerahkan
kerajaan kepada puteranya, maka dilantiklah I Gusti Wayahan Pamedekan bergelar Arya
Ngurah Tabanan Natha Singhasana. Adiknya I Gusti Made Pamedekan, yang
terkenal sakti dan kebal sebagai pengawal pribadi kakaknya.
I Gusti Wayahan Pamedekan berputera 2 orang, yang sulung bernama I Gusti Nengah
Mal Kangin, dan adiknya seorang puteri.
Raja I Gusti Wayahan Pamedekan, atas perintah Dalem Di Made dari Suweca-pura
(Gelgel), berangkat ke Blambangan bersama Kyai Ngurah Pacung memimpin laskar
Bali menyerang laskar Sultan Agung Mataram. Dalam pertempuran itu pasukan Bali
kalah. I Gusti Wayahan Pamedekan dikurung oleh musuh, karena kebal beliau tidak
terluka, tetapi lemas karena kepayahan kehabisan tenaga. Oleh karena itu beliau
bersumpah agar seketurunannya tidak akan ada yang kebal. Beliau kemudian
dijadikan menantu oleh Sutan Agung Raja Mataram, menurunkan putera bernama Raden
Tumenggung.
I Gusti Made Pamedekan Raja VI
Tabanan
I Gusti Made Pamedekan menggantikan kakaknya, dinobatkan bergelar Arya
Ngurah Tabanan, Raja Singhasana. Tapi beliau tidal lama memegang
tampuk pemerintahan, karena wafat. Untuk sementara tahta dipegang oleh ayahnya
Raja IV, karena cucunya belum dewasa.
Setelah cucunya mulai dewasa, Raja IV menempatkan I Gusti Nengah Mal Kangin di
Mal Kangin mendirikan Jro Mal Kangin, didampingi oleh I Gusti Bola, I
Gusti Made dan I Gusti Kajanan. Sedangkan putera sulung (pemayun) dan
putera bungsu (pemade), keduanya tidak disebutkan namanya, tetap tinggal di
Puri Agung. Demikianlah pembagian yang dilakukan oleh Raja IV, kemudian beliau
wafat.
Arya Ngurah Tabanan Raja VII
Tabanan
Putera sulung I Gusti Made Pamedekan, tidak disebutkan namanya, dilantik
menjadi raja Tabanan bergelar Arya Ngurah Tabanan Prabhu Singhasana.
Diceritakan I Gusti Nengah Mal Kangin yang tidak puas dengan kedudukannya
melakukan tipu daya untuk menyingkirkan raja. Ketika didengar Raja beserta
pengiring pergi menghadap Dalem di Suweca-pura, maka kelompoknya I Gusti Nengah
Mal Kangin mendahului menghadap Dalem, seraya memfitnah. Sehingga Dalem
merestui akan kematian Raja Tabanan. Sampai di desa Penida rombongan Raja
disergap oleh pasukan Mal Kangin. Raja VII Tabanan wafat ditempat penyergapan,
bergelar Bhatara Nisweng Panida.
Beliau meninggalkan 2 puteri dan seorang putera, yang bernama I Gusti Alit
Dauh, beribu dari Dauh Pala, sedang hamil ketika ditinggal wafat.
Adapun yang menggantikan kedudukan Bahatara Nisweng Panida di Tabanan
adalah I Gusti Made Dalang, putera dari I Gusti Made Pamedekan Raja VI,
sehingga wilayah Tabanan terbagai menjadi dua. Namun I Gusti Made Dalang tidak
lama wafat tanpa keturunan, hingga seluruh wilayah Tabanan segera dapat
dikuasai oleh I Gusti Nengah Mal Kangin.
Sementara putera Raja Nisweng Panida, I Gusti
Alit Dawuh pergi meninggalkan istana, mnyelinap masuk ke desa-desa
menyelamatkan diri, dari usaha pembunuhan yang dilakukan I Gusti Nengah Mal
Kangin bersama I Gusti Kaler. Akhirnya I Gusti Alit Dawuh menuju ke salah
seorang bibinya Ni Gusti Luh Tabanan yang dinikahi oleh I Gusti Agung Badeng di
Kapal.
Segera I Gusti Agung Badeng berangkat bersama
laskarnya menyerang I Gusti Mal Kangin dan I Gusti Kaler Penida, melalui desa
Braban. Dalam pertempuran itu I Gusti Mal Kangin dan I Gusti Kaler Penida tewas
terbunuh bersama pengikutnya.
I Gusti Agung Badeng untuk sementara waktu tinggal di
Jro Mal Kangin sambil menjaga Putera Mahkota yang belum bisa memegang
pemerintahan. Tidak berselang lama I Gusti Agung Badeng jatuh sakit, sehingga
balik pulang ke Kapal, wafat di sana. Isterinya Ni Gusti Luh Tabanan mesatya,
puteri satu-satunya Ni Gusti Ayu Alit Tabanan diserahkan kepada Ida Pedanda
Wanasara.
Kekosongan di Jro Mal Kangin diisi oleh I Gusti Bola. Namun keamanan
kerajaan belum juga terjamin. I Gusti Bola juga menaruh kebencian terhadap Raja
Putera I Gusti Dawuh, dan diperlakukan sebagai abdi saja.
I Gusti Alit Dawuh Raja VIII
Tabanan
Dengan dukungan I Gusti Subamia, I Gusti Jambe Dawuh,
I Gusti Lod Rurung, dan I Gusti Kukuh, laskar I Gusti Alit Dawuh bergerak
menyerang Mal Kangin. Dalam pertempuran ini laskar Mal Kangin kalah.
I Gusti Alit Dawuh kemudian mejadi raja Tabanan
bergelar Sri Maghada Sakti Raja Singhasana. Adapun yang menjabat Bahudanda
I Gusti Nyoman Kukuh. Semasa pemerintahannya negara aman dan tertib, rakyat
sejahtera.
Pada suatu hari yang sudah ditentukan, Raja I Gusti
Alit Dawuh mengadakan pertemuan dihadap oleh para punggawa, manteri, bahudanda,
pendeta, pejabat-pejabat, serta tokoh-tokoh terkemuka di masyarakat. Dalam
pertemuan itu Raja I Gusti Alit Dawuh bersabda, bahwa tidak akan mengabdi lagi
kepada Ksatrya Dalem, karena merestui pembunuhan terhadap Maharaja Dewata
Bhatara Nisweng Panida. Dalem sudah ingkar terhadap hubungan baik antara
leluhur dulu. Semenjak itu putus hubungan kerajaan Tabanan dengan Dalem di
Suweca-pura.
Diceritakan I Gusti Agung Putu yang kemudian
mendirikan kerajaan Mengwi sempat ditawan di Tabanan. I Gusti Agung Putu kalah
berperang dengan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Kekeran Nyuh Gading. Namun
diperlakukan sebagai saudara oleh Sri Maghada Sakti. Kemudian atas permohonan I
Gusti Putu Bebalang dari desa Wratmara (Marga), I Gusti Agung Putu
diperkenankan diajak ke desanya, dan bersahabat dengan adiknya yang bernama I
Gusti Ketut Celuk.
Terjadi suatu peristiwa, dimana raja Buleleng I Gusti
Ngurah Panji Sakti dengan laskarnya menyerang daerah Wongaya dan merusak Pura
Luhur Batukaru. Mengetahui peritiwa itu Sri Maghada Nata memerintahkan
laskarnya untuk menyerang laskar musuh. Ada ribuan lebah berbisa bagaikan sriti
besarnya mendahului menyerang laskar Buleleng, hingga banyak yang kesakitan
karena sengatannya. Laskar Buleleng mengundurkan diri, sementara laskar Tabanan
yang datang kemudian tidak bertemu dengan musuh. Semenjak itu I Gusti Ngurah
Panji Sakti berkaul tidak akan berani menyerang negara Singhasana Tabanan.
Sri Maghada Sakti menurunkan beberapa putera, antara
lain: I Gusti Ngurah Tabanan, I Gusti Ngurah Dawuh (bermukim di Dauh Pala,
bergelar Cokorda Dawuh Pala), dan I
Gusti Ngurah Nyoman Telabah, pindah bermukin di Twak Ilang. Sedangkan yang
lahir dari penawing: I Gusti Jegu dan I Gusti Krasan. Sedang I Gusti Oka
lahir dari Gusti Luh Ketut Dauh Jalan.
Setelah Sri Maghada Sakti memasuki usia lanjut, sudah tidak mampu berjalan
kerajaan dikuasakan kepada putera sulungnya. Timbul suatu keaiban, I Gusti
Ngurah Nyoman Telabah mengutus seseorang untuk membunuh ibu tirinya Gusti Luh
Ketut Daug Jalan. Sesampainya di istana utusan tersebut bingung tidak tahu
siapa yang harus ditikam. Penjahat itu kemudian menuju peraduan raja dan
menghunus keris. Putera Mahkota segera membalikkan badan, keris tersebut
ditampar hingga tangannya luka. Penjahat itu kemudian dibunuh, beserta
keluarganya kena hukuman watu gumulung, dan ternyata keris yang dipakai
adalah milik I Gusti Ngurah Nyoman Telabah. I Gusti Ngurah Nyoman Telabah
hendak dibunuh, tapi banyak pejabat yang melarang, karena waktunya belum tepat.
Ida Cokorda Tabanan Raja IX
Tabanan
Sri Maghada Sakti kemudian wafat digantikan oleh Putera Mahkota (pemayun),
memimpin negara bergelar Ida Cokorda Tabanan, Raja Singhasana.
Isteri beliau adalah puteri dari I Gusti Ngurah Bija dari Bun, adalah sepupu
dari ibunya I Gusti Ayu Bun. Beliau tidak melakukan hubungan kelamin dengan
isterinya karena merasa dekat bersaudara.
Setelah lama beliau memerintah, belum juga beliau berputera, sehingga bersabda,
bahwa siapapun putera pertama lahir, sekalipun dari penawing, akan
menggantikannya sebagai raja. Lahirlah putera pertama dari Ni Mekel Sekar,
diberi nama I Gusti Ngurah Sekar. Disusul oleh permasurinya melahirkan I Gusti
Ngurah Gede.
Beliau sempat mengusir I Gusti Lanang Dawuh Pala, karena diketahui bekerja sama
dengan I Gusti Ngurah Nyoman Telabah untuk menyingkirkan beliau. I Gusti Lanang
Dawuh Pala kemudian lari ke Barat ke desa Taman menurunkan para Gusti Dawuh.
BERDIRINYA PURI KURAMBITAN
KEKUASAAN DI
BAGI DUA
I Gusti Ngurah Sekar
Raja X Tabanan
Baginda Raja Singhasana setelah tua, wafat di Saren Tengah, sehingga
diberi gelar Bhatara Lepas Pemade. Sesuai sabda beliau, maka yang
menggantikan kedudukan beliau adalah I Gusti Ngurah Sekar, bergelar Ida
Cokorda Sekar, Raja Singhasana.
Beliau sempat memecat dan menjadikan sebagai rakyat biasa Ki Ngakan Ngurah dari
Kekeran yang durhaka, menyamai busana raja. Pusakanya disita dibawa ke istana.
I Gusti Ngurah Gede, putera dari permaisuri merasa kecewa karena tidak
medapatkan kekuasaan. Oleh karena itu pergi ke arah Utara gunung tinggal di
rumah keluarga Brahmana Kemenuh, di desa Banjar. Cokorda Sekar merasa
risau atas kepergian adiknya. Beliau kemudian mengutus, I Gusti Subamia untuk
menjemput agar I Gusti Ngurah Gede bersedia kembali pulang ke Tabanan.
I Gusti Ngurah Gede bersedia pulang diikuti oleh
seorang brahmana, dari Gerya Banjar, setelah segala keinginannya
dijanjikan oleh I Gusti Subamia. I Gusti Ngurah Gede kemudian memperoleh
setengah wilayah dan rakyat, serta mendirikan istana, Puri Kurambitan,
meniru arsitektur istana Singhasana Tabanan. Sumber penghasilannya Puri
Kurambitan adalah sarang burung. Setelah dinobatkan beliau bergelar Ida
Cokorda Gede Banjar. Beliau banyak punya isteri serta menurunkan para Arya
di Kurambiltan.
Ida Cokorda Sekar kemudian membangun istana baru di
Pekandelan, di sebelah Selatan Puri Agung Tabanan, sebagai istana para Arya
Kurambitan.
Ida Cokorda Sekar wafat meninggalkan beberapa putera, yang sulung bernama I
Gusti Ngurah Gede, adiknya I Gusti Ngurah Made Rai, I Gusti Ngurah Rai, dan I
Gusti Anom.
I Gusti Ngurah Gede Raja XI
Tabanan
Putera sulung I Gusti Ngurah Gede menggantikan kedudukan ayahnya. Setelah
dilantik bergelar Ida Cokorda Gede Raja Singhasana. Beliau berkuasa
penuh di Tabanan. Permasuri Sagung Ayu Marga adalah puteri dari Ida Cokorda
Gede Banjar, tetapi tidak berputera.
Sedangkan Arya yang dituakan (maka penenggek)
adalah I Gusti Ngurah Made Rai yang membangun istana di sebelah Utara Pasar,
bernama Puri Kaleran. Beliau diangkat sebagai Raja ke dua (Pemade).
Beliau mengambil isteri Ni Sagung Alit Tegal juga puteri dari Ida Cokorda Gede
Banjar dari Puri Kurambitan.
Adapun Arya yang ke dua adalah I Gusti Ngurah Rai
pindah dan bermukim di Penebel, bergelar Ida Cokorda Penebel.
Permaisurinya adalah puteri yang berasal dari Jro Subamia.
Sementara itu I Gusti Ngurah Anom mendirikan istana di
sebelah Barat Pasar, bernama Puri Mas. Beliau menikah dengan Ni Sagung
Made, juga puteri dari Cokorda Kurambitan.
Ida Cokorda Gede wafat meninggalkan beberapa putera.
Isteri dari desa Timpag menurunkan putera I Gusti Nengah Timpag. Isteri dari
Sambiahan menurunkan I Gusti Sambiahan. Dari isteri Ni Luh Made Celuk
menurunkan I Gusti Celuk.
I Gusti Ngurah Made Rai Raja
XII Tabanan
Setelah Ida Cokorda Gede wafat, digantikan oleh adik beliau yang bernama I
Gusti Ngurah Made Rai, oleh karena putera mahkota juga ikut meninggal. Sedangkan
puteranya yang lain telah tinggal di luar istana.
I Gusti Ngurah Made Rai setelah dilantik bergelar Ida Cokorda Made Rai Raja
Singhasana. Beliau berkedudukan di Puri Agung, dan membagi kerajaan
dipimpin oleh 2 Puri, yaitu Puri Agung dan Puri Kaleran. Adapun adiknya I Gusti
Ngurah Anom yang berkedudukan di Puri Mas selanjutnya dilantik menjadi Raja ke
dua (Pemade). Kyai Made Kukuh diangkat sebagai Patih Singhasana.
Beliau ditimpa kemalangan, Putera Mahkota I Gusti Ngurah Gede wafat bersama
adiknya I Gusti Nengah Perean. Tinggal putera bungsu bernama I Gusti Ngurah
Nyoman Panji, yang beribu dari Puri Kurambitan, tinggal di Puri Kaleran. I
Gusti Ngurah Nyoman Panji juga wafat meninggalkan putera-putera yang
masih belia, yaitu: I Gusti Agung, I Gusti Ngurah Demung, dan I Gusti Ngurah
Celuk.
Di Puri Mas, I Gusti Ngurah Anom setelah wafat digantikan oleh puteranya I
Gusti Mas. I Gusti Mas tidak menunjukkan prilaku seorang pemimpin. Dia
membenarkan hal-hal yang terlarang. Untuk mengelabui sifast-sifat buruknya, dia
melakukan upacara diksa bergelar I Gusti Wirya Wala.
Baginda Raja mengkuatirkan masa kehancuran kerajaan akan tiba. Sebelum ajal
tiba, beliau memberi pesan agar I Gusti Celuk diangkat menjadi raja. Setelah
beliau wafat, ternyata pesan beliau tidak dilaksanakan. Kyai Burwan dengan
didampingi Kyai Banjar dan Kyai Beng menguasai Singhasana Tabanan. Dengan
fitnah dari Kyai Wirya Wala, Kyai Burwan sebagai penguasa Tabanan menyerang
Penebel. Ida Cokorda Rai Penebel minta bantuan kepada Dalem sehingga Penebel
berhasil mengalahkan Tabanan.
Dengan kekalahan ini Kyai Wirya Wala, Kyai Burwan, dan Kyai Beng, kedudukannya
semakin goyah. Pesan raja kemudian dilaksanakan. I Gusti Celuk diangkat sebagai
raja, dikembalikan ke Puri Agung Tabanan. Tetapi belum sampai pada penobatan
sebagai raja, I Gusti Celuk wafat.
Ida Cokorda Rai Penebel akhirnya pulang kembali ke Tabanan, diikuti oleh para
putera beserta rakyat yang terpilih. Beliau mengusir dan membunuh orang-orang
yang membuat kekacauan kerajaan Tabanan. Setelah penumpasan terhadap pengacau
selesai Ida Cokorda Rai Penebel berkediaman di Puri Dalem. Salah seorang
puteranya I Gusti Made Tabanan berkediaman di Puri Kediri.
Untuk sementara Ida Cokorda Rai Penebel memimpin
negara Tabanan dengan didampingi oleh puteranya I Gusti Ngurah Ubung, sambil
menunggu cucu Raja XI yang masih belia, yaitu I Gusti Ngurah Agung sebagai
putera mahkota yang berkedudukan di Puri Kaleran.
Setelah I Gusti Ngurah Agung (Putera Mahkota)
menginjak dewasa, timbul niat busuk dari I Gusti Ngurah Ubung untuk meracuni
putera mahkota. Pada suatu upacara di Puri Kediri, santapan yang berisi racun,
yang rencananya untuk putera mahkota ternyata nyasar dipersembahkan kepada ayahnya
Ida Cokorda Rai Penebel. Putera Mahkota I Gusti Ngurah Agung selamat, sementara
Ida Cokorda Rai segera menderita sakit akibat makan racun. Raja segera diusung
ke Puri Penebel. Tidak beberapa lama wafat di Puri Penebel.
I Gusti Ngurah Ubung mengambil alih kekuasaan
memerintah di negara Tabanan bertahta sebagai raja Singhasana, bersama
adik-adiknya, yang tinggal di Puri Penebel dan di Puri Kediri.
Putera Mahkota yang berkediaman di Pesaren Kangin mendengar suara gaib (pawisik)
dari Ida Bhatara Cokorda Ngurah Made Rai (Raja XII) yang memberi tahu agar I
Gusti Ngurah Agung segera merebut kekuasaan karena masa kemenangannya akan
tiba.
I Gusti Ngurah Agung mulai mengumpulkan kekuatan bermula dari rumah seorang
bendesa Timpag. Pasukan I Gusti Ngurah Agung bergerak menuju Tabanan. I Gusti
Ngurah Ubung mengetahui pergerakan pasukan tersebut segera memukul kentongan.
Pasukan kerajaan bertemu dengan pasukan I Gusti Ngurah Agung. Terjadi
pertempuran yang sengit di sebuah tanah lapang yang kemudian disebut Pasiatan,
kini disebut Pasiapan.
Pasukan I Gusti Ngurah Agung berhasil menguasai Puri Agung Tabanan, dan
desa-desa bagian Selatan. Desa-desa bagian Utara masih dikuasai oleh I Gusti
Ngurah Ubung. Dengan demikian kekuasan negara terbagi 2, kerajaan Tabanan dan
kerajaan Penebel. Pertempuran Tabanan dan Penebel terus berlangsung terus
menerus dalam kurun waktu yang cukup lama.
I Gusti Ngurah Agung Raja XIII Tabanan
I Gusti Ngurah Agung akhirnya dinobatkan sebagai raja
Tabanan bergelar Ida Cokorda Tabanan Raja Singhasana. Setelah penobatan,
beliau menjatuhkan hukuman kepada Kyai Lod Rurung, disurutkan kewibawaannya
karena tidak mendukung perjuangan beliau.
Ketegangan antara Penebel dan Tabanan masih
berlangsung. Rakyat Penebel merusak bendungan memutuskan aliran air yang menuju
ke Tabanan. Akibatnya rakyat negara Tabanan menderita krisis air untuk irigasi.
Untuk mengatasi krisis tersebut Raja Ida Cokorda Tabanan meminta bantuan
pasukan kepada Raja Mengwi I Gusti Agung Putu Agung.
Pasukan Mengwi menyerang Penebel dari arah Selatan.
Pasukan I Gusti Ngurah Kurambitan menyerang Penebel ke Barat, dan pasukan Kyai
Pucangan di bagian Timur. Dengan jumlah pasukan yang lebih banyak, Tabanan
dapat menaklukkan Penebel. I Gusti Ngurah Ubung gugur di desa Sandan.
Peperangan diperkirakan berlangsung selama 3 tahun.
Harta benda Puri Penebel diserahkan kepada
andalan-andalan pasukan Mengwi, sebagai imbalan balas jasa atas bantuan Mengwi.
Diantara berupa pengawin / mamas serta 2 orang gadis, bernama Ni
Gusti Ayu Gede dari Puri Ageng Kurambitan sebagai permasuri di istana
Kaba-Kaba, dan I Gusti Luh Made Layar dari Jro Aseman sebagai isteri raja
Mengwi.
Setelah perang dengan Penebel berakhir, negara Tabanan
sentosa di bawah pemerintahan I Gusti Ngurah Agung (Ida Cokorda Tabanan),
didampingi I Gusti Ngurah Demung berkedudukan di Puri Kaleran sebagai Raja ke
dua (pemade). Adiknya yang bungsu I Gusti Ngurah Celuk pindah
berkediaman di Puri Kediri.
Dalam perkembangan selanjutnya hubungan Tabanan dengan Mengwi memburuk dengan
dikuasainya daerah-daerah Tabanan oleh Mengwi, yang menurut Mengwi sebagai
imbalan atas jasa-jasanya membantu Tabanan memenangkan perang melawan Penebel.
Adapun daerah-daerah Tabanan yang dikuasai Mengwi adalah bagian Barat Sungai
Dati, bagian Timur Sungai Panahan, di Utara desa Adeng, dan bagian Selatan desa
Tegal Jadi. Dalam situasi seperti ini Raja Tabanan menempatkan I Gusti Kukuh di
desa Den Bantas untuk menjaga perbatasan wilayah.
I Gusti Ngurah Agung setelah lama memerintah, tiba saatnya pulang ke alam baka.
Adapun putera-putera beliau yaitu I Gusti Ngurah beribu Ni Gusti Ayu
Ketut dari Taman diangkat putera oleh I Gusti Kaleran Demung; I Gusti Ngurah
Tabanan beribu Ni Sagung Wayan dari Jro Aseman; I Gusti Ngurah Made Penarukan
dan I Gusti Ngurah Gede Banjar beribu penawing; I Gusti Ngurah Nyoman
dan I Gusti Ngurah Rai lahir dari Ni Mekel Sekar dari Tatandan.
Putera Mahkota I Gusti Ngurah Tabanan sejak berada dalam kandungan tidak
tinggal di Puri Agung, melainkan di tempat kelahiran ibunya di Jro Aseman
Kurambitan. Setelah putera ini lahir dan berusia 3 bulan diupacarai dengan
sarana yang sederhana (pacacolong) saja. Putera Mahkota ini kemudian
tidak mau menyusu, diberikan kepada seorang isteri Brahmana dan Ksatriya
juga tidak mau menyusu. Akhirnya seorang isteri kebanyakan (Men Rawuh), barulah
putera ini mau menyusu, bergantian dengan anaknya Men Rawuh.
Setelah Putera Mahkota sudah tidak menyusu lagi, barulah dipindahkan ke Puri
Agung. Sejak saat itu ada semacam ketetapan bahwa semua keluarga dari penawing
tidak diupacarai dengan kebesaran pada umur 3 bulan tetapi dengan upacara yang
sederhana yang disebut pacacolong. Hal ini diwarisi sampai sekarang di
Puri Anom dan di Puri Anyar Tabanan.
Diceritakan setelah beberapa lama baginda raja wafat, terjadi musibah di negara
Tabanan. Puri Agung Tabanan terbakas ludes. Semua harta benda terbakar hancur
tidak dapat diselamatkan. Jenasah baginda raja yang wafat dan belum di aben
dilarikan ke Puri Kaleran. Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada tahun 1768
M.
Di Puri Kaleran terjadi pergantian pucuk pimpinan. I Gusti Ngurah Kaleran
Demung wafat digantikan oleh puteranya I Gusti Ngurah Made Kaleran.
Putera Mahkota membangun kembali istana tersebut dan menyelenggarakan upacara Pelebon
ayahandanya yang kemudian diberi gelar Sri Maharaja Dewata. Demikian
juga raja pemade I Gusti Ngurah Made Kaleran di Puri Kaleran wafat
karena terserang penyakit cacar. Setelah diupacarai dengan semestinya diberi
gelar Bhatara Mur Mabasah.
Raja pemade ini tidak mempunyai putera
laki-laki, hanya mempunyai seorang puteri yang bernama Ni Sagung Putu. Oleh
sebab itu I Gusti Ngurah Made Kaleran mengangkat anak seorang raja putera
bernama I Gusti Ngurah Rai, untuk menjadi pemucuk di Puri Kaleran
bergelar I Gusti Ngurah Made Kaleran.
I Gusti Ngurah Tabanan Raja
XIV Tabanan
Setelah upacara pelebon selesai dilaksanakan, putera mahkota dilantik bergelar Arya
Ngurah Agung Tabanan Raja Singhasana. Sedangkan yang menjadi raja pemade
adalah I Gusti Ngurah Made Kaleran di Puri Kaleran. Sementara adik-adik
baginda: I Gusti Ngurah Made Penarukan berkediaman di Puri Anyar, I
Gusti Gede Banjar berkediaman di Puri Anom Saren Kangin, dan I Gusti
Ngurah Nyoman berkedudukan di Puri Anom Saren Kawuh. Sedangkan yang
bungsu menjadi raja pemade dan pemucuk di Puri Kaleran.
Arya Ngurah Agung masih muda, rajin mempelajari filsafat-filsafat, bahasa
Melayu, Arab, dan latin. Beliau membuat krya patra (karya sastra) berupa
Kidung Nderet dan Bagus Ewer. Mempunyai seorang sahabat Mads
Johhann Lange, orang Denmark yang memperoleh kewarganegaraan Belanda. Tuan
Lange membuat pesanggrahan di sebelah Utara Jro Beng.
Pada masa pemerintahannya Tabanan terlibat perang dengan Mengwi, memperebutkan
desa Marga dan desa Perean. Mengwi dapat memenangkan perang tersebut. Laskar
Tabanan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Made dari Puri Kerambitan terdesak
Tokoh-tokoh desa Marga dan Perean mengungsi ke Tabanan.
Sekitar setahun kemudian Tabanan membalas berhasil
merebut desa-desa tersebut. Penguasa desa Marga dan Perean kembali ke rumahnya
masing-masing.
Raja Singhasana banyak isterinya, sekitar 50 orang. Permaisurinya adalah Ni
Sagung Made Sekar puteri dari Puri Kurambitan. Putera sulung adalah I Gusti
Ngurah Gede Marga beribu dari Marga Lod Rurung, berkediaman di Puri Denpasar,
sebelah Utara Jro Beng; adiknya I Gusti Ngurah Putu beribu Ni Mekel Karang dari
Antasari, berkediaman di Puri Mecutan, Banjar Sakenan Klod; I Gusti
Ngurah Rai Perang beribu Ni Gusti Ayu dari Lod Rurung; I Gusti Ngurah Nyoman
Pangkung, I Gusti Ngurah Made Batan beribu penawing sama-sama tinggal di
Puri Mecutan.
Putera terkemuka adalah I Gusti Ngurah Agung lahir dari permasuri pendamping
raja; I Gusti Ngurah Gede Mas beribu Ni Mekel Kaler dari Pagending, dan yang
bungsu I Gusti Ngurah Alit beribu Gusti Luh Senapahan, semua berkediaman di
istana Puri Agung.
Di Puri Kaleran, I Gusti Ngurah Made Kaleran wafat digantikan oleh puteranya
yang kemudian juga bergelar Sirarya Ngurah Made Kaleran. Masyarakat
menyebutnya Ida I Ratu.
Pada tahun 1877 M Arya Ngurah Tabanan menyelenggarakan Pesamuhan Agung
Negara Tabanan. Pesamuhan dipimpin oleh I Gusti Ngurah Made Kaleran,
dihadiri oleh para Manca dan Punggawa Tabanan, yaitu dari:
1. Puri
Anyar : I Gusti Ngurah Made Penarukan
2.
Puri
Anom : I Gusti Ngurah Banjar dan I Gusti
Ngurah Wayan
3. Puri Gede
Kurambitan : I
Gusti Ngurah Gede Anom
4. Puri Anyar
Kurambitan : I Gusti Ngurah Putu
5. Puri
Kediri : I Gusti Ngurah Made Pangkung
6. Puri
Marga
: I Gusti Gede Putera
7. Puri
Perean
: I Gusti Gede Nyoman
8. Jro
Oka
: I Gusti Ngurah Alit Putu Dudang
9. Jro Beng
: I Gusti Ngurah Nyoman Karang
10. Jro
Kompyang
: I Gusti Ngurah Gede
11. Jro
Subamia
: I Gusti Gede Taman
12. Jro
Tengah : I Gusti Wayan.
Pesamuhan bertujuan
membuat peraturan kerajaan, sehingga ada paswara yang diwarisi sampai
sekarang.
Pada tahun 1885 Putera Mahkota I Gusti Ngurah Agung
wafat, terserang penyakit cacar. Dilaksanakan upacara khusus untuk beliau yang
menderita penyakit cacar yang disebut ngerapuh. Beliau kemudian bergelar
Bhatara Madewa.
Raja Tabanan kemudian mengangkat I Gusti Ngurah Gede
Mas sebagai Putera Mahkota, karena raja sangat mencintai ibunya Ni Mekel Kaler
dari Pagending. Namun I Gusti Ngurah Gede Mas kurang cakap, hanya menekuni
gambelan, tabuh, tari Joged dan Legong.
Pada tanggal 20 Juni 1891 Kerajaan Mengwi dapat
dikalahkan oleh pasukan Badung yang dibantu oleh Tabanan, dan Gianyar. Itulah
sebabnya I Gusti Ngurah Putu Teges, raja Kaba-Kaba menyerah dan menghormat
kepada Puri Kaleran Tabanan, hingga rakyat dan daerah kekuasaannya. Demikian
juga desa Blayu, Kukuh masuk wilayah negara Tabanan.
Setelah kerajaan Mengwi lenyap, diadakan pertemuan 3
pihak, Badung, Tabanan, dan Gianyar. Pertemuan diselenggarakan di Pura
Nambangan Badung. Ke tiga pihak mengangkat sumpah (pedewa saksi) untuk
meningkatkan persahabatan. Pihak Tabanan diwakili oleh I Gusti Ngurah Made
Kaleran, Gianyar diwakili oleh Ida I Dewa Pahang. Setelah selesai upacara I
Gusti Ngurah Made Kaleran menginap di Puri Pemecutan. Besoknya beliau
berkunjung ke Puri Denpasar. Ketika beliau menikmati santapan di Puri Denpasar,
tiba-tiba beliau ditikam oleh I Gusti Ngurah Rai dari Jro Beng Kawan dengan
kerisnya I Ratu di Puri Kaleran anugerah dari Dalem dahulu. I Gusti
Ngurah Rai akhirnya dibunuh bersama rekan-rekannya terutama Si Agung Celebug,
mayat ditarik melalui lubang pembuangan air. Rekan-rekan I Gusti Ngurah Rai di
Jro Beng semuanya dibunuh kena watu gumulung. Jenasah beliau
diusung ke Tabanan dikebumikan di Taman, kemudian bergelar I Ratu Keruwek
Ring Badung.
Dengan wafat ratu pemade Singhasana, digantikan
oleh puteranya yang bernama I Gusti Ngurah Alit Pacung, lahir dari ibu penawing
Ni Mekel Sekar dari desa Gubug. Setelah dinobatkan bergelar Arya Ngurah Alit
Made Kaleran. Oleh masyarakat disebut I Ratu.
Raja Singhasana kemudian ditimpa kesedihan mendalam.
Putera Mahkota I Gusti Ngurah Gede Mas wafat. Pengiring yang setia mesatya
sewaktu pelebonnya, termasuk seekor kuda rajeg wesi yang bernama I
Brengbeng ikut dimasukkan ke dalam api.
Pengganti Putera Mahkota ditunjuk I Gusti Ngurah Alit
Senapahan. Tapi sayang beliau terserang demam panas dan wafat pada saat upacara
ligia Ida Bhatara Karuwek Ring Badung. Jenasahnya hanya
dikebumikan karena belum berselang setahun dari pelebon I Gusti Ngurah
Gede Mas.
Pada tahun 1901 M menyebar wabah cacar. Terkena wabah
cacar, I Gusti Ngurah Alit Made Kaleran wafat. Penggantinya I Gusti Ngurah Gede
Kediri dinobatkan menjadi Raja Pemade di Puri Kaleran bergelar Anak
Agung Ngurah Gede Made Kaleran.
Arya Ngurah Tabanan Raja XIV Tabanan wafat dalam usia
diperkirakan 150 tahun. Pelebonnya dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober
1903 M, bergelar Bhatara Angluhur. Beliau juga bergelar I Ratu Mur
Madewa, karena wafatnya akibat menderita penyakit cacar. Dua orang isterinya
dari penawing, Ni Luh Nengah Gadung dari Kamasan, dan Ni Mekel Sanding
dari desa Tegallinggah mesatya.
Pada waktu upacara pelebon dilselenggarakan
hampir menimbulkan insiden dengan pihak Belanda. Belanda tidak setujui dengan
upacara masatya yang akan dilakukan oleh 2 istri Raja, karena tidak
sesuai dengan pri kemanusiaan dan sudah tidak jamannya lagi. Belanda berusaha
menghalang halangi, dua kapal perangnya merapat di Pantai Yeh Gangga memamerkan
kekuatan, untuk memaksakan kehendaknya. Karena tidak tercantum dalam kontrak
perjanjian, upacara tersebut akhirnya terlaksana.
Belanda kemudian memasukkan Upacara Masatya
dalam perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Bali. Raja Badung Cokorda Ngurah
Made Agung (I Gusti Ngurah Denpasar) menghadiri upacara ini sebagai tanda
dukungan Badung kepada Tabanan.
Baginda Raja Angluhur ini meninggalkan beberapa
putera dan puteri. Yang lahir di Puri Dangin, Ni Sagung Ayu Gede, I Gusti
Ngurah Rai Perang, I Gusti Ngurah Anom, I Gusti Ngurah Putu Konol, dan Ni
Sagung Made dari penawing. Yang tinggal di Puri Agung: I Gusti Ngurah
Gede Pegeg, Ni Sagung Oka, dan Ni Sagung Putu lahir dari ibu Ni Sagung Wayahan
Selasih dari Grokgak Tabanan. Ni Sagung Ayu Gede dikawinkan ke Gerya Pasekan,
kepada Ida Pedanda Rai bergelar Ida Isteri Agung, namun tidak mempunyai
keturunan.
I Gusti Ngurah Rai Perang Raja
XV (Terakhir) Tabanan
Setelah wafat Bhatara Angluhur, digantikan oleh putera beliau yang
bernama I Gusti Ngurah Rai Perang, bergelar Ida Cokorda Rai Tabanan Raja Singhasana.
Oleh masyarakat disebut I Ratu Puri Dangin.
Terjadi peristiwa yang membawa aib bagi Puri Kediri yang berakhirnya dengan
lenyapnya Jro Tegeh yang terletak di sebelah Utara Puri Kaleran. I Gusti
Wayahan Tegeh sudah dijodohkan dengan salah seorang puteri dari Puri Kediri
Saren Klod, anak dari I Gusti Ngurah Alit. Sebelum diupacarai rupanya I
Gusti Wayahan Tegeh melakukan hubungan gelap dengan puteri tersebut. Perbuatan
ini mengundang kemarahan beliau yang berada di Puri Kediri. I Gusti Wayahan
Tegeh langsung diburu oleh pasukan Puri Kediri dan dibunuh di desa Riang.
Adiknya I Gusti Made Tegeh dibunuh di muara Sungai Sungi, bersama pengiringnya
Gurun Oka. Tetapi Gurun Oka selamat karena lukanya tidak terlalu parah. Puteri
Kediri itu juga dibunuh di Kediri. Adapun keluarga Gusti Tegeh semuanya
dipindahkan ke Jro Lebah Kediri. Jro Tegeh kemudian dihancurkan.
I Gusti Ngurah Rai Perang dan Anak Agung Ngurah Gede Made Kaleran adalah Raja
Singhasana di Puri Agung dan Raja Pemade di Puri Kaleran yang terakhir.
Setelah itu kerajaan Tabanan takluk pada tanggal 28 September 1906, dikalahkan
oleh Belanda menyusul kalahnya Kerajaan Badung dalam Puputan Badung pada
tanggal 20 September 1906.
HARI-HARI TERAKHIR KEKUASAAN
KERAJAAN TABANAN
Pada tanggal 25 Mei 1904 Bumi Badung mengalami krisis dengan Pemerintah
Hindia-Belanda yang dipicu oleh karamnya perahu wangkang Sri Komala di
pantai Sanur. Belanda menuduh rakyat Sanur melakukan perampasan terhadap isi
kapal tersebut dan menuntut ganti rugi. Cokorda Made Agung, Raja Badung yang
beristana di Puri Denpasar pada waktu itu masih berusia muda, baru 26 tahun.
Beliau sangat emosional dan bersikukuh tidak memenuhi tuntutan tersebut, karena
tidak ada penduduk Sanur yang melakukan perampasan sebagaimana yang dituduhkan
pihak Belanda.
Tabanan sempat mengirim pasukan di perbatasan dengan
Mengwi untuk berjaga-jaga dari kemungkinan Mengwi menyerang Badung. Raja
Tabanan dan juga Raja Pemade di Puri Kaleran mengadakan pertemuan
bermaksud menyerah kepada pemerintah Hindia-Belanda.
Pada tanggal 21 April 1905 Komisaris Liefrinck
berkunjung ke negara Tabanan bertemu dengan raja untuk mendengar langsung sikap
Raja Tabanan terhadap krisis Sri Komala ini.
Pada tanggal 14 sampai 19 Mei 1905 Raja Badung
mengadakan kunjungan ke kerajaan Tabanan. Ke dua raja melaksanakan upacara
sumpah di Pemerajan Agung Puri Tabanan untuk senantiasa saling membantu satu
sama lain.
Pada tanggal 23 sd 30 Juni 1905, kunjungan balasan
Raja Tabanan ke Puri Denpasar untuk membahas krisis perahu Sri Komala, yang
menghasilkan kesepakatan tidak membayar ganti rugi.
Pada tanggal 27 Juni 1905 sembahyang bersama antara
Raja Badung dengan Raja Tabanan di Pura Sakenan, diikuti ribuan rakyat untuk
membuktikan solidaritas antara mereka.
Tanggal 28 Juni 1905 upacara sumpah di Pura Taman
Ayun, dimana Raja Tabanan, Denpasar, dan Raja Pemecutan yang sudah tua dan
sakit2an untuk acara penting ini menyempatkan hadir. Mereka bersumpah bersatu
padu menghadapi aksi militer Belanda.
Tanggal 5 Juli 1905 Raja Tabanan Surat mengirim surat
kepada Residen Eschbach, isinya Tabanan menolak memblokade Kerajaan Badung.
Tanggal 27 September 1906 Pk. 07.00 pasukan ekspedisi
Belanda bergerak ke Tabanan sampai di desa Buringkit, Panglima Tonningen
memutuskan pasukannya beristirahat satu malam, sebelum menerus operasi ke
Tabanan. Panglima mendengar berita Raja Tabanan, disertai Putra Mahkota, I
Gusti Ngurah Anom, dan pembesar2 kerajaan seperti Adipati, Punggawa Tabanan dan
Kurambitan, dan Pedanda2 ingin berjumpa Panglima.
Raja sempat mampir di Puri Kediri bermaksud meminta dukungan, tetapi I
Gusti Ngurah Made Kediri menyatakan tidak ikut karena menderita demam panas.
Beliau hanya dapat membant dengan memberikan beberapa rakyat untuk mengiringi
rombongan Raja. Perjalanan Raja Tabanan dilanjutkan sampai di Kekeran Nyuh
Gading, menginap di rumah seorang petani.
Tanggal 28 September 1906 Pk 08.00 Raja Tabanan tiba
di Buringkit dari desa Abiantuwung, mengadakan pertemuan dengan Panglima Van
Tonningen yang didampingi Kepala Staf pasukan ekspedisi dan Asisten Residen
Schwartz di halaman Pura Kahyangan Buringkit. Raja Tabanan menyatakan maksudnya
agar diperlakukan seperti Kerajaan Gianyar dan Karangasem, sebagai Stedehouder
Pemerintah Hindia-Belanda. Van Tonningen tidak menanggapi karena masalah
politik di luar kapasitasnya sebagai Panglima, dan menyarankan agar Raja
menyerah tanpa syarat dulu, kemudian akan dibawa ke Puri Denpasar untuk
menghadap Komisaris Liefrinck. Raja minta waktu 2 hari untuk mengatur urusan
keluarga, tapi ditolak oleh Van Tonningen.
Pk 09.30 Raja beserta Putra Mahkota dan beberapa
Punggawa berangkat ke Puri Denpasar disertai Asisten Residen Schwartz dikawal
oleh satu peleton pasukan Belanda. Adipati Agung diberitahu agar memberi
perintah kepada rakyat untuk menyerahkan senjata api.
I Gusti Ngurah Oka dari Jro Oka tidak ikut serta dalam
rombongan Raja, dengan alasan akan menjaga ketertiban di Puri Tabanan. Raja
hanya mengangguk permintaan I Gusti Ngurah Oka. Sampai di Tabanan I Gusti
Ngurah Oka ingkar janji, langsung menuju desa Jegu bertemu dengan sanak
keluarganya. Perbuatan yang hina demikian disebut mresaweda.
Rombongan Raja tiba di Puri Denpasar pada malam hari. Raja dan pengiringnya
semua lapar dan payah sebab satu hari tidak makan dan minum. Rombongan Raja
sampai di sumanggen langsung naik ke lantai atas. Komisaris Liefrinck
menerima kedatangan Raja, menolak memberi status Tabanan seperti Kerajaan
Gianyar dan Karangasem.
Komisaris memerintahkan besok Raja dan Putra Mahkota diasingkan ke Majora
Lombok tempat Raja Seleparang dulu. Berita ini disampaikan oleh Ida Bagus
Gelgel, punggawa distrik Bubunan Singaraja, yang bertindak sebagai
utusan Pemerintah Hindia-belanda. Sementara Raja dan Putra Mahkota ditempatkan
dulu di salah satu bagian di Puri Denpasar.
Tanggal 29 September 1906 saat pasukan Belanda akan
menjemput Raja Tabanan dan Putra Mahkota di Puri Denpasar untuk di antar ke
Sanur, didapatkan keduanya sudah tidak bernyawa lagi. Raja memotong urat
nadinya dengan pisau kecil pengutik dan Putra Mahkota I Gusti Ngurah
Gede Pegeg minum sari (racun). Aksi bunuh diri ini dilakukan dalam
suasana yang kelam, hujan lebat, angin ribut, kilat dan petir sambung-menyambung.
Beberapa saat sebelum bunuh diri Raja sempat memotong
rambut dan kuku beliau sebagai simbol kematiannya. Kyai Gede Dude diperintahkan
membawa potongan rambut dan kuku tersebut ke Puri Agung Tabanan.
Jenazah Raja Tabanan dan Putera Mahkota diusung oleh
orang-orang Badung yang pimpin oleh Sawunggaling Gogotan. Rakyat Badung,
Tabanan dan Kurambitan menyaksikan pelebon ke dua jenasah tersebut di setra
Badung, abunya dihanyutkan di Segara Kuta.
Di Tabanan Asisten Residen Schwartz mengadakan pertemuan
dengan para punggawa Tabanan. Schwartz memberitakan Raja dan Putra
Mahkota sudah wafat. Keluarga terpenting Raja Badung dan Tabanan yang masih
hidup diasingkan ke Lombok dengan kapal laut bernama “Zeeland”.
Pejabat-pejabat Belanda masuk ke Tabanan menyita
aset-aset Puri dan merusak Puri Agung Tabanan. Para isteri dan puteri di
kalangan istana pergi ke Puri Kaleran, dan juga ada yang pergi ke rumah
masing-masing. Mulai saat itu tidak lagi diwajibkan para pemuda (truna)
bekerja pada kerajaan dan kemancaan.
Sekitar 3 bulan masa Pemerintahan Hindia-Belanda yang
berkantor di halaman depan Puri Kaleran, terjadi pemberontakan yang dipimpin
oleh seorang Raja Puteri dari Puri Ageng bernama Sagung Ayu Wah. Gerakan ini
bermaksud menyerang serdadu-serdadu Belanda yang sewenang-wenang. Rakyat
berduyun-duyun membawa senjata, keris, tombak, serta pentongan kayu. Tetapi
ketika baru tiba di dusun Twak Ilang, mereka disambut oleh serdadu Belanda
dengan tembakan bedil sehingga banyak jatuh korban. Sagung Ayu Wah dibuang ke
Sasak. Pemuka-pemuka desa, pemangku, dan kepala-kepala laskar di buang
ke Jawa dan ke Sumatera.
Dua orang puteri Cokorda Tabanan yang wafat di Badung,
Sagung Ayu Oka dan Sagung Ayu Putu pindah ke Puri Anom pada tahun 1910 M.
Sagung Ayu Putu menikah dengan I Gusti Ngurah Anom di Puri Anom. Sedangkan
Sagung Ayu Oka menikah dengan orang Manado bernama Tuan Kramer, yang menjabat
sebagai Klerk Kontrolir Tabanan.
Dengan demikian lenyaplah sudah kekuasaan Puri Agung Tabanan dan Kerajaaan
Tabanan yang semula dirintis oleh Sira Bhatara Arya Kenceng sekitar tahun 1350
M.